Rabu, 22 April 2009

PRINSIP-PRINSIP KRITIK SASTRA
“RACHMAT DJOKO PRADOPO”

Di dalam buku ini diuraikan mengenai beberapa definisi kritik sastra, penggolongan kritik sastra, paham penilaian karya sastra, metode analisis karya sastra, dan para kritikus.
Kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk karya sastra. Menurut William Henry Hudson bahwa kritik adalah penghakiman. Sedangkan menurut I.A. Richard kritik adalah usaha untuk membedakan pengalaman (jiwa) dan memberi penilaian kepadanya. Dan menurut M.H. Abrams bahwa kritik adalah studi yang berhubungan dengan pendefinisian, penggolongan (pengklasan), penguraian (analisis), dan penilaian (evaluasi).
Kritik dapat digolongkan menurut bentuk, praktik kritik, dan dasar pendekatannya terhadap karya sastra. Menurut bentuknya, ada kritik teori dan kritik terapan. Kritik teori yaitu menetapkan prinsip-prinsip umum untuk diterapkan pada interpretasi karya sastra. Dan kritik terapan yaitu penerapan prinsip-prinsip umum pada interpretasi karya sastra.
Menurut praktik kritik ada kritik judisial, impresionistik/ estetik, dan induktif. Kritik judisial berusaha menganalisis efek karya sastra berdasarkan teknik, gaya, dan organisasinya secara subjektif. Kritik impresionistik berusaha menggambarkan karya sastra dengan kata-kata dan mengekspresikan tanggapan kritikus atau uraian kesan-kesan kritikus mengenai isi sajak yang diucapkan penyair dengan mengutip sajak tanpa analisisnya. Dan kritik induktif berusaha menguraikan bagian-bagian sastra berdasarkan fenomena yang ada secara objektif seperti persajakan, gaya bahasa, dan pikiran yang dikemukakan (seperti metode literer).
Kritik menurut pendekatannya, ada kritik mimetik, pragmatik, ekspresif, dan objektif. Kritik mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan dan pencerminan dunia dan kehidupan manusia. Kritik pragmatik memandang karya sastra menurut berhasil tidaknya mencapai tujuan berupa efek yang ditimbulkan seperti efek kesenangan, pendidikan, dan efek-efek lainnya. Kritik ekspresif memandang karya sastra sebagai curahan perasaan dan produk imajinasi penulis dengan persepsi, pikiran, dan perasaannya. Dan kritik objektif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dan dianalisis dengan kriteria intrinsik dan unsur pembentuknya yang lain.
Ada tiga paham mengenai penilaian karya sastra yaitu penilaian relativisme, absolutisme, dan perspektivisme. Penilaian relativisme ialah penilaian yang dihubungkan dengan tempat dan zaman terbitnya karya sastra sehingga karya sastra yang sudah dinilai baik pada tempat dan zamannya itu tidak perlu dinilai lagi tapi diterima begitu saja. Penilaian absolutivisme ialah penilaian yang menilai karya sastra berdasarkan pandangan yang sempit seperti paham, aliran, politik dan bukan pada hakikat seni itu sendiri. Dan penilaian perspektif ialah penilaian yang menilai karya sastra dari berbagai sudut pandang yaitu menunjukkan nilai karya sastra pada waktu terbit dan nilainya pada masa-masa yang telah dilaluinya.
Metode literer (seperti kritik induktif) yaitu penilaian karya sastra secara objektif berdasarkan hakikatnya (bentuk dan isi), tidak dapat diukur dengan ukuran subjektif kritikus/ sastrawan sendiri.
Metode analisis formal yaitu meninjau karya sastra dari segi yang tampak oleh mata tanpa dihubungkan dengan penilaian apa yang diungkapkan dengan bentuk itu.
Metode phenomenologi yaitu menganalisis lapis-lapis norma dalam karya sastra. Lapis norma itu mulai dari lapis terendah berupa lapis suara/ bunyi, lapis arti, lapis objek, lapis dunia implisit hingga lapis metafisika sebagai lapis tertinggi. Berikut penjelasannya :
1. Lapis suara/ bunyi adalah bunyi-bunyi yang kuat yang digunakan mengekspresikan pengalaman jiwa.
2. Lapis arti adalah kesatuan konteks, syntagma, dan pola kalimat dalam karya sastra yang dapat memberi arti.
3. Lapis objek adalah dunia pengarang, pelaku/ tokoh dalam karya sastra, dan tempat.
4. Lapis dunia implisit adalah dunia yang dapat dimengerti dari gambaran objek dalam karya sastra meskipun tidak dinyatakan (implisit).
5. Lapis metafisika adalah pandangan hidup/ filsafat dalam karya sastra sehingga memberi kesempatan untuk memikirkan sifat mulia, tragis, mengerikan, dan suci.
Setelah karya sastra dinilai berdasarkan norma-normanya, dapat disimpulkan karya sastra itu bernilai atau tidak. Pandangan tentang lapis-lapis ini mengganti pandangan lama yang menyatakan bahwa karya sastra terdiri atas bentuk dan isi.
Dalam menilai karya sastra harus berdasarkan dua kriteria yaitu bersifat seni atau estetik yaitu indah seperti pilihan kata yang tepat, kombinasi kata/ kalimat yang menimbulkan efek puitis, penyusunan plot yang baik, ada konflik yang hebat, humor, dan sebagainya. Dan bersifat ekstra estetik yaitu dapat mengekspresikan nilai kehidupan yang besar dengan memunculkan pikiran yang cemerlang, perwatakan yang kompleks, cerita yang hebat, dan gambaran kehidupan yang menimbulkan renungan. Selain itu perlu dilihat berhasil tidaknya sastrawan menjelmakan pengalaman jiwanya ke dalam kata. Menurut analisis ilmu jiwa modern, jiwa manusia begitu juga pengalaman jiwa terdiri atas lima tingkatan (niveaux) yaitu :
1. Tingkatan pertama (niveau anorganis) yang sifatnya seperti benda mati, berupa pola bunyi irama, baris sajak, alinea, kalimat, perumpamaan, gaya bahasa, dan sebagainya.
2. Tingkatan kedua (niveau vegetatif) sifatnya seperti tumbuhan, yang ditonjolkan adalah suasana yang ditimbulkan oleh rangkaian kata-kata berupa suasana menyenangkan, menyedihkan, romantis, marah, khusuk, dan sebagainya.
3. Tingkatan ketiga (niveau animal) sifatnya seperti binatang yaitu ada nafsu jasmaniah berupa nafsu naluriah, nafsu makan, minum, seksual, dan sebagainya.
4. Tingkatan keempat (niveau human) seperti manusia yaitu pengalaman yang dirasakan oleh manusia berupa renungan batin, konflik kejiwaan, rasa belas kasihan, simpati, moral dan sebagainya.
5. Tingkatan kelima (niveau religius/ filosofis) yaitu renungan sampai pada hakikat tapi tidak dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari, hanya dialami jika sholat, dzikir, doa, merenungkan dunia beserta kehidupannya, berupa renungan batin sampai pada hakikat, hubungan manusia dengan Tuhan seperti doa, pengalaman mistik, filsafat dan sebagainya.
Karya sastra makin banyak memancarkan tingkat keempat makin memperjelas kehalusan jiwa dan memperbesar perasaan kemanusiaan dan peradaban.
Para kritikus sastra Indonesia dan metode analisis yang dominan diterapkan dalam mengkritik karya sastra diantaranya :
1. H. B. Jassin dominan menggunakan analisis formal dan kritik impresionistik. Analisisnya tidak sampai pada penilaian.
2. Amal Hamzah dominan menggunakan analisis formal.
3. Ajip Rosidi hanya menceritakan kembali tanpa ada analisis apalagi penilaian. Misalnya dalam membahas cerita, Ajip hanya meringkas cerita kemudian menceritakan kembali menurut interpretasinya sendiri.
4. J. U. Nasution dominan menggunakan metode induktif, sifat kritiknya interpretatif (menafsirkan apa yang dimaksud penulis), dan penilaiannya relativisme.
5. Junus Amir Hamzah dominan menggunakan kritik induktif dan penilaian relativisme.
6. Boen S. Oemarjati dominan menggunakan metode fenomenologi (menganalisis struktur norma dihubungkan dengan penilaian dan disimpulkan karya sastra itu sempurna atau tidak, tinggi atau rendah mutunya). Tidak hanya memuji keistimewaan tetapi juga menunjukkan kelemahannya.
7. M. S. Hutagalung dominan menggunakan sifat kritik interpretatif dan hanya mengemukakan contoh-contoh tanpa diuraikan keberhasilannya sebagai sastra.

RUJUKAN :
Rachmat Djoko Pradopo. 2007. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Cetakan keempat. Yogyakarya : Gadjah Mada University Press.

2 komentar:

  1. Wah mbak...kayaknya bacaannya berat banget tuh....
    hehehe....

    BalasHapus
  2. mbak..ada yg lebih spesifik lagi gak ttg impresionistik?

    BalasHapus