Kamis, 02 Juli 2009

INDONESIA BERKAMPANYE

Indonesia sedang marak-maraknya berkampanye PILPRES & WAPRES. Mereka saling beraksi di panggung pergulatan untuk saling promo diri. Tidak jarang yang saling sindir menyindir antarpasangan Capres dan Cawapres.
Urutan nomor CONTRENG 1 didapatkan pasangan Megawati-Prabowo atau dengan nama kerennya Mega-Pro. Pasangan ini lebih menggembor-gemborkan tentang Pilpres 1 putaran yang dinilai memaksakan aspirasi masyarakat.
Dikubu lain, urutan kedua didapatkan pasangan Susilo Bambang Yodoyono atau akrab dikenal SBY yang menggaet Gubernur Bank Indonesia, Boediono sebagai pasangannya. Pasangan ini juga mempunya nama keren yaitu SBY-Boediono atau SBY berBudi. Pasangan ini mempunya slogan kampanye mereka yang berbunyi "Lanjutkan". Hal ini meyiratkan makna bahwa SBY menghendaki dapat melanjutkan tahta pemerintahan (yang saat ini tampuk pemerintahan masih berada di tangan Presiden SBY).
Pasangan dengan nomor urut 3 juga tidak mau kalah. Pasangan ini didaulat oleh Capres Jusuf Kalla atau JK (yang saat ini masih menjabat Wapres dari SBY). JK merangkul Wiranto sebagai pasangan Wapres. Pasangan dengan nama keren JK-Win ini mempunyai slogan "Lebih Cepat Lebih Baik" yang menginginkan pemerintahan segera menuntasan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia seperti pengangguran.

Rabu, 22 April 2009

PRINSIP-PRINSIP KRITIK SASTRA
“RACHMAT DJOKO PRADOPO”

Di dalam buku ini diuraikan mengenai beberapa definisi kritik sastra, penggolongan kritik sastra, paham penilaian karya sastra, metode analisis karya sastra, dan para kritikus.
Kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk karya sastra. Menurut William Henry Hudson bahwa kritik adalah penghakiman. Sedangkan menurut I.A. Richard kritik adalah usaha untuk membedakan pengalaman (jiwa) dan memberi penilaian kepadanya. Dan menurut M.H. Abrams bahwa kritik adalah studi yang berhubungan dengan pendefinisian, penggolongan (pengklasan), penguraian (analisis), dan penilaian (evaluasi).
Kritik dapat digolongkan menurut bentuk, praktik kritik, dan dasar pendekatannya terhadap karya sastra. Menurut bentuknya, ada kritik teori dan kritik terapan. Kritik teori yaitu menetapkan prinsip-prinsip umum untuk diterapkan pada interpretasi karya sastra. Dan kritik terapan yaitu penerapan prinsip-prinsip umum pada interpretasi karya sastra.
Menurut praktik kritik ada kritik judisial, impresionistik/ estetik, dan induktif. Kritik judisial berusaha menganalisis efek karya sastra berdasarkan teknik, gaya, dan organisasinya secara subjektif. Kritik impresionistik berusaha menggambarkan karya sastra dengan kata-kata dan mengekspresikan tanggapan kritikus atau uraian kesan-kesan kritikus mengenai isi sajak yang diucapkan penyair dengan mengutip sajak tanpa analisisnya. Dan kritik induktif berusaha menguraikan bagian-bagian sastra berdasarkan fenomena yang ada secara objektif seperti persajakan, gaya bahasa, dan pikiran yang dikemukakan (seperti metode literer).
Kritik menurut pendekatannya, ada kritik mimetik, pragmatik, ekspresif, dan objektif. Kritik mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan dan pencerminan dunia dan kehidupan manusia. Kritik pragmatik memandang karya sastra menurut berhasil tidaknya mencapai tujuan berupa efek yang ditimbulkan seperti efek kesenangan, pendidikan, dan efek-efek lainnya. Kritik ekspresif memandang karya sastra sebagai curahan perasaan dan produk imajinasi penulis dengan persepsi, pikiran, dan perasaannya. Dan kritik objektif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dan dianalisis dengan kriteria intrinsik dan unsur pembentuknya yang lain.
Ada tiga paham mengenai penilaian karya sastra yaitu penilaian relativisme, absolutisme, dan perspektivisme. Penilaian relativisme ialah penilaian yang dihubungkan dengan tempat dan zaman terbitnya karya sastra sehingga karya sastra yang sudah dinilai baik pada tempat dan zamannya itu tidak perlu dinilai lagi tapi diterima begitu saja. Penilaian absolutivisme ialah penilaian yang menilai karya sastra berdasarkan pandangan yang sempit seperti paham, aliran, politik dan bukan pada hakikat seni itu sendiri. Dan penilaian perspektif ialah penilaian yang menilai karya sastra dari berbagai sudut pandang yaitu menunjukkan nilai karya sastra pada waktu terbit dan nilainya pada masa-masa yang telah dilaluinya.
Metode literer (seperti kritik induktif) yaitu penilaian karya sastra secara objektif berdasarkan hakikatnya (bentuk dan isi), tidak dapat diukur dengan ukuran subjektif kritikus/ sastrawan sendiri.
Metode analisis formal yaitu meninjau karya sastra dari segi yang tampak oleh mata tanpa dihubungkan dengan penilaian apa yang diungkapkan dengan bentuk itu.
Metode phenomenologi yaitu menganalisis lapis-lapis norma dalam karya sastra. Lapis norma itu mulai dari lapis terendah berupa lapis suara/ bunyi, lapis arti, lapis objek, lapis dunia implisit hingga lapis metafisika sebagai lapis tertinggi. Berikut penjelasannya :
1. Lapis suara/ bunyi adalah bunyi-bunyi yang kuat yang digunakan mengekspresikan pengalaman jiwa.
2. Lapis arti adalah kesatuan konteks, syntagma, dan pola kalimat dalam karya sastra yang dapat memberi arti.
3. Lapis objek adalah dunia pengarang, pelaku/ tokoh dalam karya sastra, dan tempat.
4. Lapis dunia implisit adalah dunia yang dapat dimengerti dari gambaran objek dalam karya sastra meskipun tidak dinyatakan (implisit).
5. Lapis metafisika adalah pandangan hidup/ filsafat dalam karya sastra sehingga memberi kesempatan untuk memikirkan sifat mulia, tragis, mengerikan, dan suci.
Setelah karya sastra dinilai berdasarkan norma-normanya, dapat disimpulkan karya sastra itu bernilai atau tidak. Pandangan tentang lapis-lapis ini mengganti pandangan lama yang menyatakan bahwa karya sastra terdiri atas bentuk dan isi.
Dalam menilai karya sastra harus berdasarkan dua kriteria yaitu bersifat seni atau estetik yaitu indah seperti pilihan kata yang tepat, kombinasi kata/ kalimat yang menimbulkan efek puitis, penyusunan plot yang baik, ada konflik yang hebat, humor, dan sebagainya. Dan bersifat ekstra estetik yaitu dapat mengekspresikan nilai kehidupan yang besar dengan memunculkan pikiran yang cemerlang, perwatakan yang kompleks, cerita yang hebat, dan gambaran kehidupan yang menimbulkan renungan. Selain itu perlu dilihat berhasil tidaknya sastrawan menjelmakan pengalaman jiwanya ke dalam kata. Menurut analisis ilmu jiwa modern, jiwa manusia begitu juga pengalaman jiwa terdiri atas lima tingkatan (niveaux) yaitu :
1. Tingkatan pertama (niveau anorganis) yang sifatnya seperti benda mati, berupa pola bunyi irama, baris sajak, alinea, kalimat, perumpamaan, gaya bahasa, dan sebagainya.
2. Tingkatan kedua (niveau vegetatif) sifatnya seperti tumbuhan, yang ditonjolkan adalah suasana yang ditimbulkan oleh rangkaian kata-kata berupa suasana menyenangkan, menyedihkan, romantis, marah, khusuk, dan sebagainya.
3. Tingkatan ketiga (niveau animal) sifatnya seperti binatang yaitu ada nafsu jasmaniah berupa nafsu naluriah, nafsu makan, minum, seksual, dan sebagainya.
4. Tingkatan keempat (niveau human) seperti manusia yaitu pengalaman yang dirasakan oleh manusia berupa renungan batin, konflik kejiwaan, rasa belas kasihan, simpati, moral dan sebagainya.
5. Tingkatan kelima (niveau religius/ filosofis) yaitu renungan sampai pada hakikat tapi tidak dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari, hanya dialami jika sholat, dzikir, doa, merenungkan dunia beserta kehidupannya, berupa renungan batin sampai pada hakikat, hubungan manusia dengan Tuhan seperti doa, pengalaman mistik, filsafat dan sebagainya.
Karya sastra makin banyak memancarkan tingkat keempat makin memperjelas kehalusan jiwa dan memperbesar perasaan kemanusiaan dan peradaban.
Para kritikus sastra Indonesia dan metode analisis yang dominan diterapkan dalam mengkritik karya sastra diantaranya :
1. H. B. Jassin dominan menggunakan analisis formal dan kritik impresionistik. Analisisnya tidak sampai pada penilaian.
2. Amal Hamzah dominan menggunakan analisis formal.
3. Ajip Rosidi hanya menceritakan kembali tanpa ada analisis apalagi penilaian. Misalnya dalam membahas cerita, Ajip hanya meringkas cerita kemudian menceritakan kembali menurut interpretasinya sendiri.
4. J. U. Nasution dominan menggunakan metode induktif, sifat kritiknya interpretatif (menafsirkan apa yang dimaksud penulis), dan penilaiannya relativisme.
5. Junus Amir Hamzah dominan menggunakan kritik induktif dan penilaian relativisme.
6. Boen S. Oemarjati dominan menggunakan metode fenomenologi (menganalisis struktur norma dihubungkan dengan penilaian dan disimpulkan karya sastra itu sempurna atau tidak, tinggi atau rendah mutunya). Tidak hanya memuji keistimewaan tetapi juga menunjukkan kelemahannya.
7. M. S. Hutagalung dominan menggunakan sifat kritik interpretatif dan hanya mengemukakan contoh-contoh tanpa diuraikan keberhasilannya sebagai sastra.

RUJUKAN :
Rachmat Djoko Pradopo. 2007. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Cetakan keempat. Yogyakarya : Gadjah Mada University Press.

KaJian PsiK0LogiS t0koH Maya dlm n0VeL CaLa Ibi

A. Kajian psikologis analisis mimpi tokoh Maya dalam novel Cala Ibi menurut teori Sigmund Freud
Proses membentuk gambaran objek yang dapat mengurangi tegangan disebut pemenuhan hasrat misalnya mimpi, lamunan, dan halusinasi psikotik (Sigmund Freud dalam Alwisol, 2004: 20). Dalam Cala Ibi, sebagian besar yang tertulis adalah kisah-kisah mengenai mimpi. Mimpi tokoh bernama Maya, yang mengalami permasalahan dalam keluarganya, antara ia, ayah dan ibunya yang mengejarnya dengan harapan agar lekas menikah dan memperoleh momongan.
Dalam psikoanalisis, teknik analisis mimpi digunakan Freud untuk menyibak rahasia ketidaksadaran pasien. Analisis mimpi : ketika tidur, kontrol kesadaran menurun, dan mimpi adalah ungkapan isi-isi tak sadar karena turunnya kontrol kesadaran itu (Sigmund Freud dalam Alwisol, 2004: 47).Tugas Freud adalah menganalisis dan menginterpretasikan simbol-simbol yang terkandung dalam mimpi-mimpi pasiennya sebagai sebuah usaha untuk menemukan makna laten yang berarti suatu makna tidak nampak tapi memiliki potensi untuk muncul.
Materi tak sadar yang sudah berada di daerah prasadar itu bisa muncul kesadaran dalam bentuk simbolik seperti mimpi, lamunan, salah ucap, dan mekanisme pertahanan diri. (Sigmund Freud dalam Alwisol, 2004: 18).
Dari berbagai pengalaman klinis, Freud yakin bahwa simbol-simbol tersebut memiliki makna universal. Tongkat, ular, pohon, misalnya, menyimbolkan penis. Kotak, pintu, lemari kayu, adalah representasi vagina.
Ditemukan banyak sekali simbol yang dapat diterjemahkan, seperti sang naga, mutiara Laila, jatuh, kota kata-kata, tuan tanah, kamar kuning, penjara merah, dan pertemuan dengan Ujung dan Tepi. Simbol-simbol dan peristiwa dalam mimpi Maya tentu memiliki makna laten. Sang Naga bisa bermakna sebuah keberanian. Naga memang tidak ada dalam dunia nyata tetapi dalam kepercayaan orang Tionghoa dianggap sebagai mahluk yang kuat, besar, identik dengan api, dapat terbang, dan memiliki sifat pelindung.
Maya sebagai seorang gadis yang menolak untuk segera menikah, tidak memberontak dengan cara yang kasar. Kesabarannya yang tanpa pemberontakan justru menjadi kekuatan sejati seorang perempuan. Dalam mimpi mengenai jatuh, Maia mengalami puncak pengalaman psikologi yang membuat jantungnya berdebar. Bersatunya rasa takut, pasrah, dan kosong. Bahkan dalam kekosongan itu Maia sempat berpikiran yang tidak-tidak dan berimajinasi sepuas hati.
Jadi mimpi adalah tempat meluapkan semua imajinasi. Maya menciptakan dunianya sendiri dengan kenyataan menjadi referensi dunia mimpinya. Dalam Mutiara Laila, Laila beberapa kali mengajak Maia berinteraksi dan mengacaukan barang-barangnya tapi Maia tidak bisa berbuat apa-apa. Hal itu menunjukkan bahwa Maya memiliki ketakutan dan ketidaksiapan memiliki anak. Ketakutan dan ketidaksiapan itu makin membesar ketika tekanan dari orang tuanya muncul.
Dalam Cala Ibi, Maya mendeskripsikan mimpi itu sendiri. Baginya, "Dalam mimpi, apa-apa dan siapa-siapa, adalah bukan apa adanya, tapi sebuah ujaran, penyampaian, pengingatan, peringatan, rekaman, perjalanan kehidupan, kenyataan...dunia itu indah, tak nyata, di luar segala...tuturan bahasanya lembut, berlapis, manis, liris—seperti perempuan, seperti puisi,..." (hal. 12).
Mimpi-mimpi Maya merupakan ujaran dari representasi kehidupannya, penyampaian pesan tersirat, pengingatan ia sudah dewasa dan layak menikah, peringatan sebagai seorang perempuan tidak sepantasnya menolak pernikahan dan menjadi perawan tua, rekaman masa lalu, perjalanan kehidupan dari kecil hingga dewasa terkadang menyembunyikan dan menunjukkan kenyataan.
Dalam pandangan Freud, mimpi merupakan usaha yang samar dalam mewujudkan harapan. Dalam kehidupan nyata, Maya merasa memiliki masalah dengan keinginan orang tuanya, dengan cerita-cerita dari bibinya mengenai sebuah pernikahan. Dari sini Maya merasa kehilangan sebagian harapan untuk hidup bebas (tidak terkekang oleh seorang lelaki) dalam hidupnya. Ia juga merasa kehilangan sesuatu dari kedua orang tuanya, memberi jarak antara ia dan orang tuanya. Perasaan kehilangan tersebut pernah muncul dalam salah satu mimpinya.
Berikut kutipannya: "Ia yang pernah begitu sempurna waktu kecil dulu. Teman, pahlawan, lutut dan dadanya tumpuan tangisan. Kau rasakan kehilangan itu (dan firasat aneh muncul tiba-tiba: ia akan terluka, karena sebuah dosa-dosanya ataukah dosamu, kau tak tahu). Kau telah besar kini, dirinya menghilang ketika kau berangkat dewasa, dirinya menjelma harapan keinginan beban kewajiban,...".
Maka mimpi seperti menjadi alternatif untuk memunculkan harapan kembali. Maya berharap ibunya bisa mengerti dirinya, bahwa ia belum ingin menikah. Menurut Freud, harapan-harapan tersebut merupakan motif tak sadar yang tidak dapat diterima individu atau pada hakikatnya bersifat erotik.
Sebagai contoh untuk bagian ini, dalam mimpi Maia melihat dan mengetahui sejarah beranak-pinaknya Bai Guna Tobona hingga menjadi Maluku seperti sekarang ini. Ia menyaksikan bersetubuhnya seorang wanita dan seorang lelaki dengan penggambaran sebagai berikut: "Satu perempuan bersetubuh dengan lelaki. Lelaki memasuki, lelaki merasuki. Satu perempuan merasa dirinya bagai terbelah, tapi terasa indah. Dan tiba-tiba ia telah setengah, merasai betapa saat itu dirinya terindah. Ditatapnya wujud diri baru yang tampak aneh itu (tubuh ini, tubuhnya, tubuhku). Keadaan utuh, luruh tubuh, dua yang satu, satu yang setengah, keutuhan setelah terbelah, luruh yang mengutuh. Seluruh. Setubuh. Keutuhan itu. Sempurna".
Ketidaksadaran berisi insting, impuls, dan drivers yang dibawa dari lahir, dan pengalaman-pengalaman traumatik (biasanya pada masa anak-anak) yang ditekan oleh kesadaran dipindah ke daerah tak sadar. Isi atau materi ketidaksadaran itu memiliki kecenderungan kuat untuk bertahan terus dalam ketidaksadaran, pengaruhnya dalam mengatur tingkah laku sangat kuat namun tetap tidak disadari. (Sigmund Freud dalam Alwisol, 2004: 18).
Sewaktu tidur, impuls-impuls ini mencari ekspresi tetapi selalu mengalami sensor. Akibatnya, impuls tersebut mencari ekspresi tidak langsung dengan bentuk-bentuk simbol bersifat samar seperti yang termanifestasikan dalam mimpi-mimpi.
Selain contoh di atas, Maia juga mengalami satu kejadian dalam mimpinya yang mirip dengan apa yang dialami oleh Bai Guna Tobona. Maia bertemu dengan seorang lelaki yang mendekat padanya dan saling berkata-kata. Lelaki yang seolah dapat membaca hasrat di dalam hatinya. Ini berkaitan dengan apa yang dikatakan Freud, bahwa harapan dalam mimpi merupakan motif tak sadar yang tidak dapat diterima individu atau pada hakikatnya bersifat erotik. Berikut kutipannya: "Suatu saat di atas tanah, tak jauh dari serakan cengkih yang jatuh dari bajumu, ia bangkit melepas mani (mengangankan, kelak kau dan dia saling mengusaikan, usai penuh seluruh...mengangankan, tanah bumi akan jadi rahim untuk melahirkan fosil bayi kecil, mineral tak berbentuk yang jelita, bermimpi jadi daging dalam tanah gulita)".
Beberapa mimpi Maya memang bersifat agak erotis dan menyentuh sisi keperempuanannya. Sisi-sisi femininnya nampak pada mimpi-mimpi mengenai Penjara Merah yang menggambarkan ketakutan-ketakutan Maia atas apa yang terjadi pada perempuan-perempuan aneh yang ada di penjara itu.
Maya mencatat kisah demi kisah mimpinya, menuruti saran Bibi Tania yang bijak dalam menafsirkan mimpi. Hal ini dinamakan asosiasi bebas : terjadi asosiasi antara even nyata dengan gambaran mental (ingatan dan mimpi) yang dapat mengungkap materi yang direpres. Materi tak sadar dapat dibawa ke kesadaran dengan mendorong ekspresi bebas setiap kali mereka muncul ke dalam pikiran (Sigmund Freud dalam Alwisol, 2004: 47).
B. Sinopsis Cala Ibi
Maya, dara yang sudah mapan merasa agak terganggu dengan desakan kedua orang tuanya untuk segera mencari pendamping hidup. Ayah dan ibunya memang tidak memaksa Maya untuk segera menikah, tetapi melalui percakapan mereka sehari-hari dan pernyataan keinginan kedua orang tuanya untuk segera memiliki momongan membuat Maya tak enak hati. Apalagi sebulan yang lalu ia baru saja memutuskan pertunangan dengan kekasihnya. Maka semakin banyaklah sindiran-sindiran dan ungkapan kekecewaan orang tua Maya terhadap putrinya itu.

pemBelajaRan K0ntekStuaL

Pendekatan Kontekstual adalah konsep belajar diman guru yang menghadirkan dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa menghubungkan pengetahuannya dengan penerapan dalam masyarakat.
Inti dalam belajar kontekstual adalah belajar melalui mengalami yang berorientasi pada latihan dan rangsangan atau tanggapan. Siswa yang aktif terhadap materi yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dengan siswa mengalami dan berfikir.
Komponen pembelajaran kontekstual ada 7 yaitu :
1. Konstruktivisme
2. Inquiri
3. Bertanya
4. Masyarakat belajar
5. Penilaian autentik
6. Refleksi
7. Pemodelan
Rincian pembelajaran kontekstual yang diterapkan adalah :
1. Konstruktivisme yang dimaksud adalah siswa aktif, adanya kerja kelompok, adanya kebebasan, belajar adalah pemaknaan informasi baru.
2. Inquiri yang dimaksud adalah siswa mengamati, bertanya, menganalisis, dan merumuskan materi.
3. Bertanya yang dimaksud adalah siswa menanyakan materi yang belum jelas pada guru. Biasanya guru memberi umpan kepada siswanya untuk bertanya.
4. Masyarakat belajar yang dimaksud adalah bekerjasama dan belajar dari pengalaman orang lain.
5. Penilaian Autentik yang dimaksud adalah menilai dari berbagai cara dan berbagai sumber, mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa dari proses dan produk, tugas yang kontekstual (menghubungkan pengetahuan dengan penerapan dalam masyarakat), mempersyaratkan penerapan pengetahuan dan pengalaman.
6. Refleksi yang dimaksud adalah guru menyimpulkan pembelajaran hari itu dengan meluruskan materi yang salah dan menunjukkan materi yang benar.
7. Pemodelan yang dimaksud adalah membahas gagasan yang diperlukan, mendemonstrasikan, melakukan apa yang guru inginkan agar siswa melakukannya.
Strategi yang digunakan dalam pembelajaran kontekstual adalah :
1. Relating (dikaitkan dengan konteks dunia nyata).
2. Transfering (memanfaatkan konteks baru). Dalam hal ini guru memberikan materi yang dimilikinya yang dikreasikan dengan hal yang baru bagi siswa.
3. Eksperience (pengalaman). Siswa memahami makna dan menghubungkan teks dengan dunia nyata.
4. Applying (penerapan).
5. Cooperating (interpersonal).
Contoh observasi terhadap guru B.Indonesia di SMK Ketintang 1 :
Kegiatan inti pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan materi membaca cepat pemahaman dan submaterinya membaca prosa dengan judul Jayaprana dan Layonsari adalah :
1. Guru menjelaskan modul materi hari itu.
2. Guru menjelaskan materi membaca cepat pemahaman.
3. Guru berusaha melakukan apersepsi (menggali pengetahuan siswa tentang materi membaca cepat pemahaman dengan memberi pertanyaan atau mengecek pengetahuan membaca terdahulu).
4. Guru meminta siswa membaca pada buku belajarnya dengan aba-aba bersama-sama dan akan memberikan aba-aba selesai pada waktu yang ditentukan guru.
5. Siswa membaca dengan serius dan tenang tanpa bersuara.
6. Guru memberi aba-aba stop tanda selesai (pada menit kedua) dan meminta siswa menandai kata terakhir yang dibaca lalu meminta siswa menghitung berapa kata yang telah dibaca (apakah sudah membaca cepat pemahaman atau belum).
7. Guru menanyakan isi paragraf 1 dan siswa tidak bisa menjawab isinya.
8. Guru menyimpulkan bahwa siswa belum membaca cepat pemahaman tetapi membaca cepat saja.
9. Guru menjelaskan kembali tentang materi membaca cepat pemahaman karena siswa belum mampu memahami membaca cepat pemahaman.
10. Guru meminta siswa membaca teks lain dari awal sampai akhir dengan menentukan waktu mulainya dan meminta siswa menghitung sendiri kata yang dibaca pada menit terakhir mereka.
11. Guru menanyakan isi teks itu dan menyimpulkan isinya bersama.
12. Guru memulai materi baru yaitu membaca prosa Jayaprana dan Layonsari untuk menjawab soal yang tersedia.
13. Siswa menjawab soal di buku tugas tentang hal-hal yang terkait dalam prosa itu (tanpa melihat teks). Ada 4 soal tentang prosa itu dan 1 soal yang menghubungkan dengan dunia nyata (tentang kaitan prosa itu dengan masyarakat yang sesungguhnya).
14. Koreksi bersama (dibahas bersama).
15. Guru meminta siswa mengerjakan tugas berikutnya yaitu menceritakan kembali dan membuat alur penyelesaian yang masuk akal yang sesuai logika (Bukan alur yang sama seperti dalam prosa itu).
16. Koreksi bersama lagi (siswa membacakan hasil tugasnya).
17. Refleksi (keterangan dari guru bahwa akhir cerita atau penyelesaian cerita Jayaprana dan Layonsari yang sebenarnya).
18. Guru memberikan tugas rumah kepada siswa yaitu membaca teks cerita Robohnya Surau Kami karya A.A Navis dan menjawab soal dibawahnya.

Kamis, 16 April 2009


Matahari

Saat pagi tiba...
Sayup-sayup kau tampak malu...
Malu menampakkan cahyamu...
Jasamu tiada terkira...
Sepanjang pagi hingga sore berlalu...
Cahyamu menyinari seluruh negriku...
Saat hari tlah siang...
Panasmu menyengat kulitku...
Mengantar ayunan sepedaku...
Dari sekolah ke rumah tercintaku...


Karya :
Ermi Adriani M


Puisi ini aku persembahkan untuk adik sepupuku yang saat ini duduk di bangku Sekolah Dasar agar tidak malas sekolah meski panas terik matahari menyengatnya saat pulang sekolah.

Gaya Bahasa dalam Lirik Lagu-lagu Ungu : (Kajian Stilistika)

Gaya Bahasa dalam Lirik Lagu-lagu Ungu :

(Kajian Stilistika)

Oleh Ermi Adriani M

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sastra adalah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan (Najid, 2003:7). Sastra adalah institusi sosial yang menggunakan medium bahasa (Wellek & Warren dalam Najid, 2003:9). Karya sastra sebagai hasil kreasi pengarang (Aminuddin, 1995:49).

Genre sastra atau jenis sastra dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu sastra imajinatif dan nonimajinatif. Dalam praktiknya sastra nonimajinatif terdiri atas karya-karya yang berbentuk esei, kritik, biografi, otobiografi, dan sejarah. Yang termasuk sastra imajinatif ialah karya prosa fiksi (cerpen, novelet, novel atau roman), puisi (puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik), dan drama (drama komedi, drama tragedi, melodrama, dan drama tragikomedi), (Najid, 2003:12).

Lirik lagu termasuk dalam genre sastra karena lirik adalah karya sastra (puisi) yang berisi curahan perasaan pribadi, susunan kata sebuah nyanyian (KBBI, 2003:678). Jadi lirik sama dengan puisi tetapi disajikan dengan nyanyian yang termasuk dalam genre sastra imajinatif.

Setiap lagu pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat sebagai pendengarnya. Lagu berisi barisan kata-kata yang dirangkai secara baik dengan gaya bahasa yang menarik oleh komposer dan dibawakan dengan suara indah penyanyi. Penelitian ini menganalisis lirik lagu-lagu Ungu karena memiliki kemenarikan liriknya yang bervariasi.

Dalam penelitian ini akan diteliti mengenai gaya bahasa yang terkandung pada lirik lagu-lagu Ungu ditinjau dari kajian stilistika. Penelitian ini ditinjau dari kajian stilistika yang berkaitan dengan gaya yang meliputi konsep-konsep tentang pilihan leksikal seperti pengunaan bahasa daerah, bahasa asing, mengenai ungkapan dan majas (Nurgiyantoro dalam Sarjiyanto, 2004:8).

2. Permasalahan

Permasalahan yang mendasari penelitian ini adalah penelusuran tentang :

1) Apakah wujud gaya bahasa dalam lirik lagu-lagu Ungu?

3. Tujuan Penelitian

1) Menganalisis wujud gaya bahasa dari lirik lagu-lagu Ungu dengan mendeskripksikan fakta berupa liriknya dan mengidentifikasi gaya bahasa yang sesuai.

4. Manfaat Penelitian

1) Menambah wawasan tentang stilistika berkaitan dengan analisis lirik lagu-lagu Ungu.

2) Membuat masyarakat pecinta Ungu lebih memahami gaya bahasa dalam lirik lagu-lagu Ungu.

3) Membantu masyarakat penikmat musik lebih kritis menanggapi lagu-lagu Ungu.

5. Batasan Istilah/Kata Kunci

Gaya bahasa adalah pengungkapan ide, gagasan, pikiran-pikiran seorang penulis yang meliputi hierarki kebahasaan yaitu kata, frasa, klausa, bahkan wacana untuk menghadapi situasi tertentu (Rahayu, 2005:11).

Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas citraan, pola rima, matra yang digunakan sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra. Jadi majas merupakan bagian dari gaya bahasa (Sudjiman dalam Fillaili, 2007:14). Majas merupakan peristiwa pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang dari arti harfiah (Sudjiman dalam Fillaili, 2007:13). Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati pengarang (Slamet Mujana dalam Pradopo dalam Sowikromo, 2007:7).

Lirik adalah karya sastra (puisi) yang berisi curahan perasaan pribadi, susunan kata sebuah nyanyian (KBBI, 2003:678). Lagu adalah berbagai irama yang meliputi suara instrumen dan bernyanyi dan sebagainya, nyanyian, tingkah laku, cara, lagak (KBBI, 2003:401). Lagu adalah ragam suara yang berirama, nyanyian, ragam, nyanyi, dan tingkah laku (KBBI, 2003:624). Lagu adalah suatu kesatuan musik yang terdiri atas susunan pelbagai nada yang berurutan (Ensiklopedia Indonesia dalam Fillaili, 2007:10).

Lirik lagu terbentuk dari bahasa yang dihasilkan dari komunikasi antara pencipta lagu dengan masyarakat penikmat lagu sebagai wacana tulis karena disampaikan dengan media tulis pada sampul albumnya dapat juga sebagai wacana lisan melalui kaset. Lirik lagu merupakan ekspresi seseorang dari dalam batinnya tentang sesuatu hal baik yang sudah dilihat, didengar maupun dialami. Lirik lagu memiliki kekhususan dan ciri tersendiri dibandingkan dengan sajak karena penuangan ide lewat lirik lagu diperkuat dengan melodi dan jenis irama yang disesuaikan dengan lirik lagu (Fauzi, 2006:3).

Ungu adalah salah satu band Indonesia yang namanya ada di urutan atas band-band atas dan lagu-lagunya sudah populer dikalangan anak muda khususnya.

Stilistika berkaitan dengan gaya (style). Gaya dalam kaitan ini tentu saja mengacu pada pemakaian atau penggunaan bahasa dalam karya sastra. Stilistika merupakan kajian terhadap wujud performansi kebahasaan khususnya dalam karya sastra. Analisis stilistika dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu yang pada umumnya pada dunia kasastraan untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dari maknanya (Wellek & Warren dalam Sarjiyanto, 2004:8).

Stilistika kesusastraan merupakan metode analisis karya sastra. Stilistika meliputi konsep-konsep tentang pilihan leksikal seperti pengunaan bahasa daerah, bahasa asing, mengenai ungkapan dan majas (Nurgiyantoro dalam Sarjiyanto, 2004:8). Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi dengan arti memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu (Sudjiman dalam Sarjiyanto, 2004:10). Jadi stilistika adalah kajian terhadap karya sastra yang berpusat pada pemakaian bahasa.

B. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

1. Kajian Pustaka

Penelitian sebelumnya tentang gaya bahasa yang relevan dengan penelitian ini pernah dilakukan oleh Choirul Asyhar dalam skripsinya berjudul “Gaya Bahasa dan Fungsi Bahasa dalam Lagu Permainan Anak di Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo” 2007. Masalah yang dibahas adalah bagaimana gaya bahasa dan fungsi bahasa dalam lagu permainan anak di kecamatan Krian kabupaten Sidoarjo.

Penelitian yang relevan lainnya dilakukan oleh Diana Yusuf dalam skripsinya yang berjudul “Diksi dan Gaya Bahasa dalam Antologi Geguritan Medhitasi Alang-alang karya Widodo Basuki (Kajian Stilistika) 2005. Masalah yang dibahas adalah bagaimana penggunaan diksi dan gaya bahasa dalam antologi geguritan medhitasi Alang-alang karya Widodo Basuki.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Vinna Reindah Sowikromo dalam skripsinya “Gaya Bahasa dalam Puisi Lery Hermann Hesse” 2007. Pernah juga dilakukan oleh Elisa Nugraheni dalam skripsinya yang berjudul “Diksi dan Gaya Bahasa lirik lagu Ebiet. G. Ade” 2004. Penelitian dalam skripsi “Analisis Wacana Kumpulan Lirik Lagu Nasyid Taqwa karya Hawari (Tinjauan Aspek Gramatikal)” 2006 oleh Achmat Fauzi.

Penelitian sebelumnya tentang kajian stilistika yang relevan pernah dilakukan oleh Agus Sarjiyanto dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Stilistika Kumpulan Cerpen Lebaran di Karet, di Karet karya Umar Kayam” 2004. Masalah yang dibahas adalah bagaimana penggunaan pilihan leksikal yang berupa unsur bahasa daerah, bahasa Inggris, ungkapan, dan majas dan efek atau makna yang didukung dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet.

Penelitian yang relevan lainnya dilakukan oleh Yessi Malesi dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Stilistika Novel Supernova 1 : Ksatria Putri dan Bintang Jatuh karya Dewi Lestari” 2004. Pernah juga dilakukan oleh Nanik Eka Rahmawati dalam skripsinya berjudul “Diksi dalam Novel Larung karya Ayu Utami : Kajian Stilistika” 2004. Dan oleh Sirtu Fillaili dalam skripsi “Lagu Permainan rakyat Madura” 2007.

2. Kerangka Teori

Karya sastra yang dibahas dalam penelitian ini adalah lirik lagu dengan fokus gaya bahasa dengan menggunakan teori stilistika. Lirik adalah karya sastra (puisi) yang berisi curahan perasaan pribadi, susunan kata sebuah nyanyian (KBBI, 2003:678). Lagu adalah suatu kesatuan musik yang terdiri atas susunan pelbagai nada yang berurutan (Ensiklopedia Indonesia dalam Fillaili).

Jika dalam bahasa lisan nada tampak dalam intonasi, dalam bahasa tulis nada merupakan kualitas gaya yang memaparkan sikap pengarang terhadap masalah yang dikemukakan dan juga merupakan sikap pengarang terhadap pembaca. Nada sangat bergantung pada gaya (Najid, 2003:27).

Gaya bahasa yang dimaksud adalah gaya bahasa yang mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas citraan, pola rima, matra yang digunakan sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra. Jadi majas merupakan bagian dari gaya bahasa (Sudjiman dalam Fillaili, 2007:14).

Gaya bahasa sebagai gejala penggunaan sistem tanda , dapat dipahami bahwa gaya bahasa pada dasarnya memiliki sejumlah matra hubungan. Matra hubungan tersebut dapat dikaitkan dengan dunia proses kreatif pengarang, dunia luar yang dijadikan obyek dan bahan penciptaan, fakta yang terkait dengan aspek internal kebahasaan itu sendiri, dan dunia penafsiran penanggapnya (Aminuddin, 1995:54).

Sesuai dengan pengertian stilistika sebagai studi tentang cara pengarang dalam menggunakan sistem tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan, dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk karya sastra itu yang dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan sistem tandanya (Aminuddin, 1995:46).

Teori stilistika berkaitan gaya yang meliputi konsep-konsep tentang pilihan leksikal seperti pengunaan bahasa daerah, bahasa asing, mengenai ungkapan dan majas (Nurgiyantoro dalam Sarjiyanto, 2004:8).

Hubungan antara lirik lagu dengan teori stilistika sangat erat maksudnya stilistika sebagai studi menggunakan sistem tanda (di dalamnya gaya bahasa merupakan gejala penggunaan sistem tanda tersebut) berpusat pada fakta yang terkait dengan aspek internal kebahasaan itu sendiri (pemakaian bahasa yang dilihat dalam lirik lagu yang tertuang melalui bahasa tulis nada).

Konsep teori yang secara spesifik digunakan dalam melakukan penelitian ini terangkum dalam gaya bahasanya. Gaya bahasa yang digunakan dalam menganalisis lirik lagu Ungu adalah :

1) Personifikasi adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau sesuatu yang tidak bernyawa memiliki sifat kemanusiaan.

2) Hiperbola adalah menyatakan sesuatu secara melebih-lebihkan.

3) Asonansi adalah pengulangan bunyi vokal yang sama.

4) Aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama.

5) Repetisi adalah kata yang digunakan diulang beberapa kali secara berturut-turut.

6) Pleonasme adalah acuan memakai kata-kata yang lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan.

7) Simploke adalah pengulangan yang sama pada awal dan akhir kalimat.

8) Inversi adalah susunan yang dapat dibalik atau dipermutasikan.

9) Klimaks adalah gaya bahasa yang urutannya semakin meningkat dari gagasan sebelumnya.

10) Antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan bertentangan dengan menggunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan.

11) Sinekdok pars pro toto adalah gaya bahasa yang dinyatakan oleh seluruh bagian tetapi sebenarnya mewakili satu maksud (Asyhar, 2004:5).

C. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis lirik lagu-lagu Ungu adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 2001:63). Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Kutha ratna, 2004:53).

Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan objektif. Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri (Kutha Ratna, 2007:73). Dalam pendekatan obektif harus dicari dalam karya sastra seperti citra bahasa, stilistika, dan aspek-aspek lain yang berfungsi untuk menimbulkan kualitas estetis (Kutha Ratna, 2007:74). Pendekatan objektif memandang karya sastra sebagai dunia otonom yang dapat dilepaskan dari pencipta dan lingkungan sosial-budaya zamannya, sehingga karya sastra dapat dianalisis berdasarkan strukturnya (Sudikan, 2001:6).

Asumsi yang disusun sebagai dasar pemilihan pendekatan adalah :

1. Karya sastra adalah gejala sistem tanda yang secara potensial mengandung gambaran obyek, gagasan, pesan, dan nilai ideologis

2. Karya sastra adalah gejala komunikasi puitik yang secara imajinatif dapat mengandaikan adanya penutur, tanda yang dapat ditransformasikan ke dalam kode kebahasaan, dan penanggap

3. Dalam kesadaran batin penanggap karya sastra dapat menggambarkan unsur-unsur yang ada dalam tingkatan dan hubungan tertentu secara sistematis

4. Unsur-unsur dalam karya sastra secara konkret terwujud dalam bentuk penggunaan sistem tanda sesuai dengan cara yang ditempuh pengarang dalam menyampaikan gagasannya

5. Cara yang digunakan dalam memaparkan gagasannya dapat ditentukan berdasarkan deskripsi ciri pemaparan sistem tandanya (Aminuddin, 1995:48).

Asumsi itu bersifat substantif, dalam arti hanya memiliki hubungan dengan substansi fakta yang akan digarap. Asumsi ini diperankan sebagai landasan dalam menyusun sistematika konsep dan prosedur pemaknaan aspek gaya dalam teks sastra. (Aminuddin, 1995:49).

Kajian sastra yang memusatkan perhatiannya pada unsur dan hubungan antarunsur dalam work atau dalam karya sastra secara internal adalah kajian yang bertolak dari pendekatan obyektif sedangkan pendekatan lainnya seperti pendekatan mimetik, pragmatik, dan ekspresif adalah kajian secara ekstrinsik. Dihubungkan dengan terdapatnya pendekatan ekspresif, mimetik, obyektif, dan pragmatik, kajian stilistik merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan obyektif (Aminuddin, 1995:52). Jadi pendekatan obyektif sesuai dalam penelitian ini karena merupakan kajian stilistik dan memusatkan pada unsur internal (dalam hal ini adalah gaya bahasanya).

Dengan demikian pendekatan objektif memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur yang dikenal dengan analisis intrinsik dan mengabaikan segala unsur ekstrinsik. Tahap permulaan tertuju pada usaha mengemukakan gejala-gejala yang ditemukan berdasarkan fakta-fakta untuk memberikan penafsiran dan analisis serta interpretasi tentang data itu. Pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap unsur-unsur dalam dengan mempertimbangkan keterjalinan antarunsur di satu pihak dan unsur-unsur dengan totalitas di pihak yang lain.

D. PEMBAHASAN ANALISIS DATA

Hasil penelitian mengenai lirik lagu-lagu Ungu dilakukan melalui pendekatan objektif dengan mendeskripsikan fakta berupa lirik dan menganalisis gaya bahasanya.

1. Mendeskripsikan fakta pada lirik lagu “Melayang” :

Disini dibatas rindu mencoba menegarkan langkahku

Mencari rasa yang hilang bersamamu

Dan ku beranikan diri berlari mengejar bayanganmu

Yang datang menghantui disetiap malamku

Terhempas tubuhku ingin memeluk tubuhmu

Terjerat mimpi-mimpi yang memasung langkahku

Kini ku terbang melayang mencoba kepakkan sayap

Ku berharap ku akan temukan dirimu untuk ...

Ku terbang melayang menyusuri ruang cinta

Ku berharap ku akan temukan dirimu untuk ...

Analisis gaya bahasanya :

Gaya bahasa asonansi terdapat pada baris 1—6 dengan ditandai “u” karena ada pengulangan bunyi vokal yang sama pada akhir tiap baris. Gaya bahasa hiperbola terdapat pada baris ke-5 “terhempas tubuhku ingin memeluk tubuhmu” yang menyatakan sesuatu secara berlebihan. Gaya bahasa personifikasi terdapat pada baris ke-6 “terjerat mimpi-mimpi” karena mimpi adalah sesuatu yang tidak bernyawa tetapi diibaratkan memiliki sifat kemanusiaan yaitu terjerat. Gaya bahasa simploke terdapat pada baris ke-8 dan 10 “ku berharap ... untuk” karena terjadi pengulangan kata yang sama pada awal dan akhir baris. Gaya bahasa repetisi terdapat pada baris ke-5 “tubuh” dan kata “ku terbang” pada baris ke-7 dan 9 karena kata ini diulang beberapa kali yaitu 2x secara berturut-turut. Gaya bahasa pleonasme terdapat pada ‘terbang melayang” pada baris ke-7 dan 9 karena memakai kata-kata yang lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran yaitu terbang saja tanpa melayang karena kemiripan arti.

2. Mendeskripsikan fakta pada lirik lagu “Berikan Aku Cinta” :

Bermandikan air surga membasuh jiwa

Menghempaskan seluruh dahaga

Berikan aku cinta suci yang terdalam dari hatimu

Berikan aku kasih putih yang tulus darimu

Peluklah diriku kasih terbangkan aku melayang bersamamu

Analisis gaya bahasanya :

Gaya bahasa personifikasi terdapat pada baris 1 “membasuh jiwa” karena jiwa adalah sesuatu yang tidak bernyawa tetapi diibaratkan memiliki sifat kemanusiaan yaitu membasuh. Gaya bahasa personifikasi juga terdapat pada baris ke-2 “menghempaskan ... dahaga” karena dahaga adalah sesuatu yang tidak bernyawa tetapi diibaratkan memiliki sifat kemanusiaan yaitu menghempaskan. Gaya bahasa aliterasi terdapat pada baris ke-3 dan 4 dengan ditandai “B” karena ada pengulangan bunyi konsonan yang sama pada awal bait. Gaya bahasa repetisi terdapat pada baris ke-3 dan 4 pada “berikan” karena kata ini diulang beberapa kali yaitu 2x secara berturut-turut. Gaya bahasa asonansi terdapat pada baris ke-3 dan 4 dengan ditandai “u” karena ada pengulangan bunyi vokal yang sama pada akhir tiap baris. Gaya bahasa pleonasme terdapat pada baris ke-5 “terbang ... melayang” karena memakai kata-kata yang lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran yaitu terbang saja tanpa melayang karena kemiripan arti.

3. Mendeskripsikan fakta pada lirik lagu “Tercipta Untukku” :

Menatap indahnya senyuman diwajahmu

Membuatku terdiam dan terpaku

Mengerti akan hadirnya cinta terindah

Banyak kata yang tak mampu ku ungkapkan kepada dirimu

Aku ingin engkau selalu hadir dan temani aku

Disetiap langkah yang meyakiniku kau tercipta untukku sepanjang hidupku

Meski waktu akan mampu memanggil seluruh ragaku

Ku ingin kau tahu ku selalu milikmu

Yang mencintaimu sepanjang hidupku

Analisis gaya bahasanya :

Gaya bahasa inversi terdapat pada baris 1 “indahnya senyuman” karena susunannya terbalik yang dalam tata bahasa Indonesia mengenal hukum DM (Diterangkan Menerangkan) yang seharusnya senyuman indahnya. Gaya bahasa sinekdok pars pro toto terdapat pada baris 1 “senyuman diwajahmu karena semua bagian untuk 1 bagian maksudnya semua bagian wajah mewakili 1 bagian yaitu bibir. Gaya bahasa klimaks terdapat pada baris ke-2 “terdiam ... terpaku” karena urutannya semakin meningkat dari gagasan sebelumnya. Gaya bahasa personifikasi terdapat pada baris ke-3 “hadir ... cinta” cinta adalah sesuatu yang tidak bernyawa tetapi diibaratkan memiliki sifat kemanusiaan yaitu hadir. Gaya bahasa personifikasi juga terdapat pada baris ke-6 “langkah ... meyakini” karena langkah adalah kegiatan yang dilakukan oleh salah bagian dari organ manusia yaitu kaki yang diibaratkan memiliki sifat kemanusiaan yaitu meyakini. Gaya bahasa personifikasi lainnya terdapat pada baris ke-7 “waktu ... memanggil” karena waktu adalah sesuatu yang tidak bernyawa tetapi diibaratkan memiliki sifat kemanusiaan yaitu memanggil. Gaya bahasa antitesis terdapat pada baris ke-4 “banyak kata ... tak” karena mengandung gagasan dengan kelompok kata yang bertentangan. Gaya bahasa repetisi terdapat pada baris ke-5 “ aku ...aku” karena kata ini diulang beberapa kali yaitu 2x secara berurutan. Gaya bahasa asonansi terdapat pada baris ke-5—9 dengan ditandai “u” karena ada pengulangan bunyi vokal yang sama pada akhir tiap baris.

4. Mendeskripsikan fakta pada lirik lagu “Kekasih Gelapku” :

Ku mencintaimu lebih dari apapun

Meskipun tiada satu orang pun yang tahu

Ku mencintaimu sedalam-dalam hatiku

Meskipun engkau hanya kekasih gelapku

Ku tahu ku takkan selalu ada untukku

Di saat engkau merindukan diriku

Ku tahu ku takkan bisa memberikanmu waktu

Yang panjang dalam hidupku

Yakinlah bahwa engkau adalah cintaku

Yang ku cari selama ini dalam hidupku

Dan hanya padamu ku berikan sisa cintaku

Yang panjang dalam hidupku

Analisis gaya bahasanya :

Gaya bahasa hiperbola terdapat pada baris 1 “ku mencintaimu lebih dari apapun” dan baris ke-3 “ku mencintaimu sedalam-dalam hatiku” karena menyatakan sesuatu secara berlebihan. Gaya bahasa antitesis terdapat pada baris ke-2 ‘tiada satu orang” karena mengandung gagasan dengan kelompok kata yang bertentangan. Gaya bahasa repetisi terdapat pada baris ke-1 dan 3 “ku mencintaimu” dan baris ke-2 dan 4 “meskipun” dan baris ke-5 dan 7 “ku tahu” karena kata ini diulang beberapa kali yaitu 2x secara berurutan. Gaya bahasa repetisi juga terdapat pada baris ke-8 dan 12 “yang panjang dalam hidupku” dan baris ke-9 dan 11 “cintaku” karena kata ini diulang beberapa kali yaitu 2x secara berurutan. Gaya bahasa asonansi terdapat pada baris 5—8 dengan ditandai “u” karena ada pengulangan bunyi vokal yang sama pada akhir tiap baris. Gaya bahasa simplike terdapat pada baris ke-8 dan 12 “yang panjang ... hidupku” karena terjadi pengulangan kata yang sama pada awal dan akhir baris tersebut.

5. Mendeskripsikan fakta pada lirik lagu “Saat Indah Bersama” :

Terbuai nafas cinta yang kau hembuskan

Sampai mati pun ku takkan bisa melupakanmu

Dan bila waktu akan buktikan janji itu

Harus ku akui aku sayang kamu aku cinta kamu

Oh hanya pada dirimu

Ku ingin kau mampu terima hatiku terima akan cintaku

Satu rasa yang haus menyentuh bayangmu

Analisis gaya bahasanya :

Gaya bahasa personifikasi terdapat pada baris 1 “nafas cinta” karena cinta adalah sesuatu yang tidak bernyawa tetapi diibaratkan memiliki sifat kemanusiaan yaitu nafas/bernafas. Gaya bahasa personifikasi juga terdapat pada baris ke-3 “waktu ... buktikan janji” karena waktu adalah sesuatu yang tidak bernyawa tetapi diibaratkan memiliki sifat kemanusiaan yaitu buktikan janji. Gaya bahasa personifikasi lainnya terdapat pada baris ke-7 “rasa ... haus” karena rasa adalah sesuatu yang tidak bernyawa tetapi diibaratkan memiliki sifat kemanusiaan yaitu haus. Gaya bahasa hiperbola terdapat pada baris ke-2 “sampai mati pun ku takkan bisa melupakanmu” karena manyatakan sesuatu secara berlebihan. Gaya bahasa repetisi terdapat pada baris ke-4 “aku ... kamu” dan baris ke-6 “terima” karena kata ini diulang beberapa kali yaitu 2x secara berurutan. gaya bahasa pleonasme terdapat pada baris ke-4 “aku sayang kamu aku cinta kamu” dan baris ke-6 “terima hatiku terima ... cintaku” karena memakai kata-kata yang lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran yang mirip artinya yaitu aku sayang kamu mirip dengan aku cinta kamu dan terima hatiku mirip dengan terima cintaku. Gaya bahasa asonansi terdapat pada baris ke-4—6 dengan ditandai “u” karena ada pengulangan bunyi vokal yang sama pada akhir tiap baris.

E. SIMPULAN

Dari hasil penelitian lirik lagu-lagu Ungu dapat disimpulkan bahwa lirik lagu Ungu tidak hanya didominasi oleh gaya bahasa personifikasi dan hiperbola tetapi juga asonansi, aliterasi, repetisi, pleonasme, simploke, inversi, klimaks, antitesis, dan sinekdok pars pro toto.

F. DAFTAR PUSTAKA

Aminudddin. 1995. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang : IKIP Semarang Press.

Asyhar, Choirul. 2007. Skripsi “Gaya Bahasa dan Fungsi Bahasa dalam Lagu Permainan Anak di Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo”. Surabaya : Perpustakaan Fakultas Bahasa dan Seni.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Fauzi, Achmat. 2006. Skripsi “Analisis Wacana Kumpulan Lirik Lagu Nasyid Taqwa karya Hawari (Tinjauan Aspek Gramatikal)”. Surabaya : Perpustakaan Fakultas Bahasa dan Seni.

Fillaili, Sirtu. 2007. Skripsi “Lagu Permainan Rakyat Madura”. Surabaya : Perpustakaan Fakultas Bahasa dan Seni.

Kutha Ratna, Prof. Dr. Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Malesi, Yessi. 2004. Skripsi “Analisis Stilistika Novel Supernova 1 : Ksatria Putri dan Bintang Jatuh karya Dewi Lestari”. Surabaya : Perpustakaan Fakultas Bahasa dan Seni.

Najid, Moh. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya : University Press dengan Kreasi Media Promo.

Nawawi, Prof. DR. H. Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Nugraheni, Elisa. 2004. Skripsi “Diksi dan Gaya Bahasa lirik lagu Ebiet. G. Ade”. Surabaya : Perpustakaan Fakultas Bahasa dan Seni.

Rahayu. 2005. Skripsi “Register Reporter Sepak Bola Liga Bank Mandiri Tabloid Soccer Edisi Agustus-September”. Surabaya : Perpustakaan Fakultas Bahasa dan Seni.

Rahmawati, Nanik Eka. 2004. Skripsi “Diksi dalam Novel Larung karya Ayu Utami : Kajian Stilistika”. Surabaya : Perpustakaan Fakultas Bahasa dan Seni.

Sarjiyanto, Agus. 2004. Skripsi “Analisis Stilistika Kumpulan Cerpen Lebaran di Karet, di Karet karya Umar Kayam”. Surabaya : Perpustakaan Fakultas Bahasa dan Seni.

Sowikromo, Vinna Reindah. 2007. Skripsi “Gaya Bahasa dalam Puisi Lery Hermann Hesse”. Surabaya : Perpustakaan Fakultas Bahasa dan Seni.

Sudikan, Dr. Setya yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya : Citra Wacana.

Yusuf, Diana. 2005. Skripsi “Diksi dan Gaya Bahasa dalam Antologi Geguritan Medhitasi Alang-alang karya Widodo Basuki (Kajian Stilistika)”. Surabaya : Perpustakaan Fakultas Bahasa dan Seni.